Kamis, Juni 12

0
Batu Asah

Kamis, Juni 12

Share this history on :

Pekuburan tua pada suatu gigil pagi. Renyai tipis hujan sejak semalam menyeruak bau tanah yang telah sekian waktu melepuh digerus garang terik kemarau. Coklat air tanah menggenang riang sekujur penjuru tanah pekuburan. Rerumputan yang menguning hampir mati seakan bersorak menyambut sisa hidup diakhir harap-harap yang kini sampai. Gundukan tanah tak beraturan penanda kubur-kubur juga menggeriap menyambut tetesan air hujan penyemai kehidupan di pelataran liang-liang kematian.

Di sudut utara tanah pekuburan itu membujur beberapa puluh kuburan sangat tua. Konon menurut sebuah riwayat kuburan-kuburan tua itu adalah makamnya para bangsawan. Ini dapat ditelisik dari batu-batu nisan yang terpancang pada setiap kepala dan kaki kubur. Batu-batu nisan itu berdiri kokoh setinggi pinggang, dengan beragam ukir-ukiran yang membentuk sebuah ornamen khas bukti jayanya peradaban masa itu. Di tengah badan batu-batu nisan itu terpahat beberapa bait tulisan beraksara Arab. Dalam kumuhnya warna dan suasana pekuburan, kuburan-kuburan tua itu seakan memancarkan rona kemuliaannya.

Hujan masih mengguyur. Terseok-seok kususur jalur becek jalan setapak, menuju pertapakan batu di pinggir sebuah kuburan yang batu nisannya patah di batas lekuk ukiran bagian atas. Sejenak aku tercenung menyaksikan kuburan itu. Seraup bau wangi menyeruak di udara dingin pagi. Bau wangi itu halus, tapi menusuk. Bau yang sangat purba, bau harum bara damar campur kemenyan. Aku gelagapan. Bulu kuduk tiba-tiba meremang.

Cepat-cepat kurogoh buntalan karung yang sedari tadi kujinjing. Kukeluarkan sebongkah patahan batu nisan. Kucoba letakkan patahan itu pada penanda kepala kuburan yang terpacak di depanku. Beberapa kali kucocok-cocokkan letaknya di bekas patahan itu. Aku terkesiap dan tersentak. Dari sambungan patahan itu seketika menyeruak asap tipis warna kelabu beraroma pahit. Asap itu berpusing-pusing menyaput sekeliling patahan. Sekejap kemudian asap itu hilang. Dan kini patahan itu sudah menyatu kembali, seolah-olah batu nisan itu tak pernah patah.

***

Tepat 17 hari sudah aku digerayangi mimpi-mimpi ngeri. Dalam mimpi itu aku didatangi seorang wanita jelita berbaju kurung warna hijau daun pisang. Wajahnya putih pucat berlumur darah. Mahkota di kepalanya patah setengah. Ia berdiri di sebuah bongkahan batu besar di tepi jurang belakang sebuah bangunan istana megah indah menawan, yang berlatarkan laut saat berpendar-pendarnya cahaya senja. Ia sepertinya putri seorang raja. Ia sepertinya tengah berputus asa. Ia sepertinya mau mengakhiri segalanya.

Berkali-kali ia menyeringai marah. Bola matanya memerah. Dengus nafasnya percikkan darah. Hanya sekali kudengar desahnya, ketika tiba-tiba tubuh jelita itu dihentak cepat meluruk masuk ke jurang dalam. Jelas sekali kusaksikan tubuh itu terlepar, membentur batu-batu cadas, terkoyak-koyak sambil terus terguling-guling, terpelanting-pelanting menuju dasar jurang yang hitam kelam. Mimpiku bergetar-getar. Mimpiku putus di gelap pekat!

***

Berpuluh tahun turun-temurun patahan batu nisan itu tergeletak di sudut sumur belakang rumah warisan kakek nenek kami. Berpuluh tahun dan turun-temurun pula patahan batu nisan itu telah kami jadikan batu asah. Beratus parang, beratus pisau, beratus tumpul berubah tajam ketika diasah-asah di batu itu. Berpuluh tahun turun-temurun tak ada keganjilan apapun dengan batu asah itu. Tak ada yang unik dan tak pernah terusik-usik. Batu nisan itu begitu sempurna jadi batu asah.

Malam ini mimpi itu menggerayang lagi. Di tengah carut-marut perjalanan tidur kucoba keraskan hati untuk menamsilkan inti hakikat mimpi itu. Kureka-reka riwayat di balik tabir mimpi itu sebatas ambang sadar dilelap gelisah tidurku di malam gerah.

Tolong kembalikan batu nisanku, desis lirih menyayat pilu wanita jelita kembali mengacak-acak malam-malamku.

Aku tertegun. Seketika terjaga. Seketika mereka-reka. Batu apa? Nisan yang mana? Sampai kukuruyuk ayam tetangga menyambut awal pagi bersiramkan hujan, aku tak bisa lagi memejamkan mata, ketika tiba-tiba ingatanku merujuk ke batu asah di sudut sumur belakang rumah, kuburan-kuburan tua ujung kampung yang konon dulunya kampung tua dan kini hanya tinggal nama. Aku meluruk dalam sekali, ketika ngiang suara wanita jelita itu mengusikku kembali.



0 comments:

Posting Komentar

 

ADVERTISEMENTS

Subscribe Archive News

Segera konfirmasi email anda agar saya bisa mengirimkan Artikel terbaru gratis ke email anda.

Arhive News Merupakan Sebuah Blog Yang dibuat oleh SIAF, tujuannya adalah ingin berbagi informasi terbaru di dunia online, jangan lupa tinggalkan kesan pesan anda di blog sederhana ini salam hangat dari saya.