
Berkaca dari pengalaman negara lain, minimnya perempuan sebagai anggota Komisi Kebenaran mengakibatkan kerja komisi tidak berbasis jender, sehingga membuat penemuan atas kasus-kasus kekerasan berbasis jender menjadi lemah dan tidak dapat diandalkan.
"Misalnya yang dilakukan Komisi di Ghana. Komisi ini jauh dari dari peranan perempuan dalam pencarian kebenaran di negara tersebut," kata staf pengajar Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta Asmin Fransiska pada diskusi mengenai Peranan Perempuan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Jakarta, Selasa (28/10).
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Silvana, dalam konteks konflik, tubuh dan seksualitas perempuan adalah penanda identitas kolektif masyarakat.
"Misalnya yang dilakukan Komisi di Ghana. Komisi ini jauh dari dari peranan perempuan dalam pencarian kebenaran di negara tersebut," kata staf pengajar Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta Asmin Fransiska pada diskusi mengenai Peranan Perempuan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Jakarta, Selasa (28/10).
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Silvana, dalam konteks konflik, tubuh dan seksualitas perempuan adalah penanda identitas kolektif masyarakat.
Perempuan menjadi target penyerangan seksual seperti, dilecehkan, diperkosa, diintimidasi, diperbudak secara seksual.
"Pengalaman tubuh perempuan dan seksualitasnya sebagai obyek perang tidak hanya satu-dua kasus, tapi ada pola yang harus dianalisis secara lebih kritis.
Kelihatan serangan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu cara untuk melumpuhkan lawan," kata Silvana.
Perempuan kemudian menjadi korban untuk kedua kalinya karena ada stigma yang dilekatkan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di wilayah konflik. Mereka tidak mendapat keadilan.
"Hak mereka ditentukan oleh komunitas. Perempuan itu tidak mendapatkan keadilan karena mereka hidup dengan stigma bahkan dialienasi atau dikucilkan," kata Silvana.
Bahkan dalam proses pembangunan perdamaian, terjadi marginalisasi perempuan karena peran perempuan tidak dianggap penting. Perempuan sangat jarang terlibat di meja perundingan.
"Perempuan tidak mendapatkan tempat pada periode rehabilitasi dan rekonstruksi," kata Silvana.
Sementara itu, Sri Lestari Wahyoeningrum dari International Center for Transitional Justice (ICTJ) Jakarta mengatakan, penegakkan hukum di Indonesia masih sangat karet.
Pemerintah tidak berubah banyak, belum lagi kondisi kemiskinan dan isu dunia ketiga.
"Apalagi saat ini ada krisis global. Orang sudah lupa dengan penegakkan kebenaran di masa lalu. Korban-korban juga menjadi tidak peduli lagi. Yang penting mereka masih bisa survive. Perlu ada konsolidasi di antara masyarakat sipil dan korban agar Komisi Kebenaran dan Rekonsialisi bisa terbentuk," kata Sri Lestari.
"Pengalaman tubuh perempuan dan seksualitasnya sebagai obyek perang tidak hanya satu-dua kasus, tapi ada pola yang harus dianalisis secara lebih kritis.
Kelihatan serangan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu cara untuk melumpuhkan lawan," kata Silvana.
Perempuan kemudian menjadi korban untuk kedua kalinya karena ada stigma yang dilekatkan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di wilayah konflik. Mereka tidak mendapat keadilan.
"Hak mereka ditentukan oleh komunitas. Perempuan itu tidak mendapatkan keadilan karena mereka hidup dengan stigma bahkan dialienasi atau dikucilkan," kata Silvana.
Bahkan dalam proses pembangunan perdamaian, terjadi marginalisasi perempuan karena peran perempuan tidak dianggap penting. Perempuan sangat jarang terlibat di meja perundingan.
"Perempuan tidak mendapatkan tempat pada periode rehabilitasi dan rekonstruksi," kata Silvana.
Sementara itu, Sri Lestari Wahyoeningrum dari International Center for Transitional Justice (ICTJ) Jakarta mengatakan, penegakkan hukum di Indonesia masih sangat karet.
Pemerintah tidak berubah banyak, belum lagi kondisi kemiskinan dan isu dunia ketiga.
"Apalagi saat ini ada krisis global. Orang sudah lupa dengan penegakkan kebenaran di masa lalu. Korban-korban juga menjadi tidak peduli lagi. Yang penting mereka masih bisa survive. Perlu ada konsolidasi di antara masyarakat sipil dan korban agar Komisi Kebenaran dan Rekonsialisi bisa terbentuk," kata Sri Lestari.
0 comments:
Posting Komentar