Rabu, Desember 16

0
Menelusuri masjid tua dan bersejarah Aceh

Rabu, Desember 16

Share this history on :

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), memiliki beragam obyek wisata spritual yang khas, antik, dan menarik berupa masjid-masjid tua dan bersejarah. Usai bertandang ke masjid-masjid tersebut, pastinya Anda akan membawa pulang segudang pengetahuan, seperti sejarah tempo doeloe Aceh, arsitektur kuno, dan tentunya rasa keimanan yang kian menebal.Di ujung Juni, langit di atas Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh, siang itu sedikit berawan kelam. Kendati begitu, bangunan utama bandara yang berarsitektur masjid modern dengan kubah didominasi warna hijau, tetap tampil megah dan indah. Saat melihat gaya bangunan bandara tersebut dari kejauhan, nuansa Islami yang membalut bumi Serambi Mekkah ini sudah mulai terasa.

Ketika mobil rombongan press tour ke Aceh yang digelar Direktorat Nilai Sejarah, Dirjend Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata meninggalkan Bandara SIM, langit mencurahkan sayangnya ke bumi dengan rintik-rintik hujan. Padahal menurut salah seorang sopir, sudah lama tak turun hujan. Kondisi cuaca saat itu, seolah menyambut kedatangan rombongan press tour di provinsi terbarat Indonesia tercinta ini.

“Tujuan press tour mengunjungi masjid-masjid tua dan bersejarah serta sejumlah situs purbakala yang ada di Aceh, mengingat masjid-masjid di Aceh menjadi pusat kekayaan budaya sekaligus perjuangan masyarakat Aceh. Setelah itu disebarluaskan informasinya ke media agar keberadaan dan nilai-nilai sejarahnya diketahui masyarakat luas,” jelas Direktur Nilai Sejarah, Drs. Shabri A kepada Waspada saat tiba di Masjid Baiturahim, yang kini kerap dikunjungi wisatawan karena tetap tgar berdiri meski ditsapu tsunami.

Mengingat wilayah Aceh begitu luas dan obyek bersejarahnya tersebar di sejumlah kabupaten dan kota, press tour kali ini cuma mengambil obyek yang ada di 1 kota dan 4 kabupaten yakni Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat.

Khusus masjid tua dan bersejarah yang berhasil dikunjungi press tour kali ini cukup banyak, pertama Masjid Baiturrahim di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh (Baca: City Tour ke Banda Aceh, Menikmati Wisata Khas Tsunami). Kemudian berlanjut ke Masjid Indra Puri di Kebupaten Aceh Besar, Masjid Guci Rumpong atau Tengku Chik Di Pasi di Kabupaten Pidie, Masjid Madinah di Kabupaten Pidie Jaya, Masjid Gunong Kleng dan Masjid Tuha Manjing di Kabupaten Aceh Barat serta terakhir Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.

Sebelum bertolak ke masjid-masjid tersebut, rombongan press tour mendatangi Gubernur Prov.NAD, Irwandi Yusuf. Menurut beliau Aceh memiliki banyak obyek wisata spritual baik yang sudah terkenal maupun situs-situs yang belum diketahui keberadaannya. Bila dikembangkan pasti akan mendatangkan wisatawan baik dari dalam maupun luar Aceh. Sebab masjid bukan cuma sebagai tempat ibadah, bila arsitekturnya antik, unik atau bahkan megah, masjid bisa menarik sebagai obyek wisata. “Kami akan serius mengembangkan wisata spritual di Aceh dan sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa pariwisata itu bukan cuma bule-bule berjemur di pantai,” jelasnya.

Sementara Kadisbudpar Prov. NAD, Mirzan Fuadi mengatakan obyek wisata di Aceh sangat beragam, baik alam, budaya, sejarah, religi, dan lainnya. “Peminatnya hampir merata, cukup tinggi termasuk peminat ke obyek wisata sejarah dan religi,” terangnya.

Bekas peninggalan Hindu
Masjid Indrapuri yang kami kunjungi berada di Desa Pekuan Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda.

“Setelah Islam masuk dan berkembang pesat di Aceh, benteng yang semua tempat peribadatan Hindu, dindingnya dihancurkan dan digantikan dengan masjid. Begitu juga dengan ornamen asli penghias bangunan dalam, ditutup plester mengingat ajaran Islam melarang adanya penggambaran makhluk bernyawa,” jelas Dahlia.

Berdasarkan pantauan Waspada, masjid yang dibangun tahun 1270 Hijriah atau akhir tahun 1853 ini miskin arsitektur. Bentuk atapnya limas tumpang tiga seperti masjid-masjid tradisional di Jawa. Kekuatan masjid ini justru berada di atas benteng yang kokoh. Sayangnya kondisi masjid ini kurang terawat. Kolam persegi empat yang berada di depan bangunan utama masjid, kering dan terisi bermacam sampah.

Menurut Bupati Aceh Besar, H. Bukhari Daud, bentuk bangunan Masjid Indrapuri merupakan asli dari masjid-masjid tradisional yang di Indonesia. Bahkan Masjid Demak di Jawa mengambil contoh arsitektur masjid ini. “Sayangnya banyak masyarakat Aceh yang belum tahu bahwa inilah bentuk asli tradisional masjid kita yang seharusnya dipertahankan. Mereka justru lebih tertarik dengan arsitektur masjid gaya Turki yang akhirnya mendominasi arsitektur masjid di Aceh sekarang ini,” jelasnya.

Lain lagi dengan Masjid Guci Rumpong yang berada di Desa Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Bari, Kabupaten Pidie. Masjid yang dibangun oleh Syech Abdussalam yang berjuluk Tengku Chik Di Pasi pada abad 17 Hijriah. Karena itu pula masjid ini dikenal dengan nama Masjid Tengku Chik Di Pasi.

Yang menarik di masjid ini terdapat dua guci besar berwarna hitam yang ditempatkan di tempat khusus semacam kandang di sisi kanan masjid. “Menurut sejarah, kedua guci itu dulu pernah berkelahi hingga salah satunya giging rumpong atau ompong,” jekas Ismail Iskak, Pengurus masjid Guci Rumnpong. Di dalam kedua guci itu, lanjut Ismail Iskak, berisi air yang dipercaya masyarakat berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.

Di dalam masjid ini terdapat sebilah bambu kuno yang berdiri tegak menuju atap masjid. “Bambu ini berumur 4,5 abad tujuannya dulu untuk memperbaiki atap dan membantu petugas azan naik ke atas untuk mengumandangkan azan, karena waktu itu belum ada alat pengeras suara,” ungkap Ismail Iskak lagi.

Sedangkan Masjid Madinah yang berada Jalan Poros Sigli-Medan tepatnya di Desa Dayah Krut Kuta Baro, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, juga punya kaitan dengan Masjid Guci Rumpon. Dulunya Guci Rumpong berasal dari masjid ini namun kini bukan guci asli. Kendati begitu air di dalam guci yang berada di masjid ini juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. “Bahkan ada wisatwan asal Malaysia yang mengambil air di masjid ini untuk penyembuhan,” jelas Ismail B selaku juru pelihara Masjid Madinah.

Masjid Madinah dibangun oleh Muhammad Jalaluddin yang berjuluk Tengku Japakeh pada tahun 1623 Masehi, sehingga sering disebut juga Masjid Japakeh. Arsitektur masjid ini pun beratap tumpa bersusun dua dari genteng dengan puncak mustaka berbentuk bulat lonjong dari bahan seng.

Di Kabupaten Aceh Barat, rombongan mengunjungi Masjid Gunung Kleng yang berada di Desa Gunung Kleng, Kecamatan Meureubho dan Masjid Tuha Manjing di Desa Manjing, Kecamatan Pantai Cermin.

Masjid Gunung Kleng yang dibangun tahun 1927, berarsitektur unik dengan lima kubah. Menara masjidnya, dulu berfungsi sebagai alat untuk menyuarakan azan hingga menjangkau radius yang cukup jauh.

Masjid Tuha Manjing tak kalah antik. Masjid yang dibangun tahun 1918 atas swadaya masyarakat setempat ini dikelilingi deretan pohon pinang yang tinggi dan berbatang lurus ramping.

Yang unik, masjid berbentuk segiempat dengan tiang soko guru 4 buah dan 12 tiang lainnya, beratap tumpang dua dari rumbia dan dinding dari bambu yang dibelah dua ini, pembuatannya mengikuti pola masjid kuno yakni tanpa menggunakan paku. Hanya menggunakan pasak dan tali ijuk sebagai penguat.
Di Masjid Tuha Manjing, rombongan press tour disambut hangat warga setempat dengan suguhan kelapa muda yang diambil tak jauh dari masjid ini.

Masih jadi ikon
Masjid Baiturrahman di Banda Aceh menjadi penutup kunjungan press tour ke masjid-masjid kuno dan bersejarah di Aceh. Kendati bermunculan obyek wisata baru pasca tsunami, masjid raya ini tetap menjadi ikon pariwisata Banda Aceh bahkan Prov. NAD. Hingga ada anggapan, kalau belum ke masjid yang dibangun tahun 1292 atau abad ke 13 ini saat ke Aceh, belumlah sempurna.

Berdasarkan pantauan Waspada, kondisi masjid raya ini kini semakin baik pasca diterjang tsunami. Pengunjungnya pun tetap ramai, baik jamaah yang ingin shalat maupun wisatawan lokal yang berwisata atau melakukan pengambilan foto prewedding. Wisatawan dari luar Aceh dan beberapa pasang turis asing juga terlihat. Umumnya wisatawan yang datang ingin menikmati arsitektur Eropa, Turki dengan sentuhan Islam dan tradisional masjid ini, dan tak lupa foto diri berlatar belakang masjid indah ini.

Menurut Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Aceh, Prof. Misri A. Muchsin, meski penampilan fisik Masjid Baiturrahman pasca tsunami sudah kembali bagus, namun untuk kembali menjaring wisatawan, masjid ini perlu melakukan peningkatkan pelayanan. “Pengurus ataupun penjaga masjid harus bersikap lebih ramah agar pengunjung merasa betah dan nyaman. Di samping itu pemandu wisata yang mahir berbahasa Inggris dan asing lainnya harus diperbanyak,” jelasnya.

Kendati bermunculan obyek wisata baru pasca tsunami, bagi masyarakat Aceh keberadaan Masjid Raya Baiturrahman tetaplah penting. Bukan semata sebagai simbol kebanggaan semata melainkan pula menjadi sandaran hidup bagi sebagian kecil warganya. Salah satunya buat Zulkisar, salah serorang khadam (petugas kebersihan) di Masjid Baiturrahman yang berjumlah 22 orang.

Menurut Zulkisar yang sudah bekerja sebagai khadam sejak tahun 1969, penghasilannya sebagai khadam membantu menopang hidup keluarga barunya. “Saya bekerja setengah hari dari pukul 8 pagi sampai 12 siang atau mulai pukul 1 siang hingga 4 sore, sebelum atau setelah itu melaut di Pantai Ulee Lheue,” kata Zulkisar sambil membersihkan ornamen tembaga di salah satu pilar dalam masjid dengan cairan kimia racikan sendiri.

Gelap malam berangsur menyelimuti langit di atas Masjid Raya Baiturrahman. Namun pesona keindahan masjid raya ini tak lantas memudar. Lampu-lampu masjid dan bayangan bangunan yang terpantul di air kolam di depan masjid, justru menghadirkan pesona tersendiri. Tak berlebihan di kala malam merayap, masih banyak pengunjung yang datang untuk menikmati dan mengabadikan keindahannya.

Menikmati obyek wisata khas pascatsunami

Lain dulu lain sekarang. Bila berwisata ke Banda Aceh sebelum tsunami, Minggu pagi 26 Desember 2004, tujuan utama Anda pasti ke Masjid Baiturrahman. Tapi usai gelombang dasyat itu berlalu, bukan cuma masjid raya itu yang harus Anda kunjungi, melainkan pula obyek-obyek wisata dari sisa-sisa keganasannya.

Obyek-obyek tersebut, kini justru menjadi primadona wisata baru di kota berjuluk "Serambi Mekah" ini. Pasalnya selain khas dan bikin heran, obyek-obyek itu hanya ada di Banda Aceh. Karenanya, kota ini pun kemudian berpredikat Tsunami Memorial City.

Bekas gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter disusul tsunami dan kemudian dijadikan obyek-obyek wisata oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh, semula bertujuan hanya untuk mengenang ratusan ribu orang yang menjadi korban dan merusak 50 persen bangunan di Banda Aceh dan daerah lainnya. Dengan harapan agar masyarakat Aceh sadar dan mandiri mengatasi bila terjadi bencana serupa.

Tapi tak dinyana, obyek-obyek tersebut belakangan bukan cuma kian membuat orang ingin bertandang ke Aceh, tapi justru mulai menggeser obyek wisata yang sudah ada sebelumnya.

Jumlah obyek wisata khas pasca tsunami di Banda Aceh itu cukup banyak, antara lain Masjid Baiturrahim Ulee Lheue di Kecamatan Meuraxa. Masjid ini merupakan satu-satunya bangunan di pinggir Pantai Ulee Lheue yang tetap berdiri kokoh meski diterjang gelombang tsunami. Sementara bangunan rumah dan lainnya rata dengan tanah.

Setelah direnovasi, masjid itu tampil cantik dengan ornamen klasik bercat putih dan krem, lengkap dengan menara di sebelah kanan bangunan utama dan dua gapura di depan masjid.

Di depan gapura masjid ini, ada plang persegi empat berwarna putih dengan tulisan hitam berbahasa Indonesia, Arab, dan Inggris yang berbunyi “Perhatian: Anda memasuki kawasan wajib mengenakan busana muslim/muslimah”. Berkat keperkasaan masjid ini dari amukan gempa dan tsunami, kini banyak wisatawan yang berdatangan untuk sekadar melihat dan memotret arsitekturnya maupun melakukan ibadah shalat.

Di depan sebelah kiri masjid ini, ada sebuah Koperasi Anak Yatim yang menjual beragam souvenir dan oleh-oleh khas Aceh seperti aneka kerajinan dari rotan, tas, rencong, kopiah, bros, kopi Aceh, Kopi Gayo, dan lainnya.

Yang juga menarik perhatian, di depan sebelah kiri koperasi ini ada plang bercat biru bertuliskan Zona Bahaya Tsunami lengkap dengan gambar orang sedang berlari ke bukit menghindari riak tsunami. Di bawah gambarnya, ada tulisan putih dalam bahasa Aceh dan Indonesia yang berbunyi meunyoe geumpa rayeuk plung laju ke teumpat yang manyang, bek to laot yang artinya “jika terjadi gempa segera menjauhi pantai/lari ke tempat yang tinggi”.

Kemudian Anda bisa pergi ke obyek kapal di atas rumah di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam. Semula kapal nelayan itu berlabuh di Dermaga Pantai Aceh. Akibat tsunami, kapal itu terbawa arus hingga lebih kurang 3 Km ke daratan. Yang mencengangkan, meski terbawa arus super deras, kapal itu berhasil menyelamatkan 165 orang dari terjangan gelombang karena mereka menyelamatkan diri ke atas kapal tersebut. Untuk memudahkan pengunjung melihat kapal melayan ini dari dekat, Pemkot membangun sebuah jembatan.

Obyek berikutnya yang pastinya bakal bikin Anda terheran-heran adalah Pembangkit Tenaga Listrik Diesel (PLTD) Apung I di Gampong Punge Blang Cut. Bagaimana tidak, tongkang berbobot mati 2.500 ton dan luas lambung 1.600 meter persegi tersebut terempas tsumani dari Dermaga Ulee Lheue sejauh 4 Km ke tengah permukiman padat penduduk hingga menelan korban nyawa dan juga merusak bangunan.

Di tongkang PLTD Apung yang sudah tak berfungsi lagi itu, Anda dapat naik ke atas geladak setinggi lebih kurang 20 meter lewat tangga besi di sisi tongkang. Dari atas geladaknya, Anda dapat menyaksikan pemandangan luas ke berbagai belahan kota di Banda Aceh, termasuk ke dermaga termpat tongkang itu semula berlabuh.

Tugu & museum tsunami
Selain mengunjungi sisa-sisa kedahsyatan tsunami di atas, Anda bisa melanjutkan kunjungan ke obyek-obyek wisata baru yang masih berkaitan dengan tsunami seperti Taman Edukasi Tsunami, Kuburan Massal, Museum Tsunami Aceh, dan Tugu Peringatan Tsunami.

Usai menaiki tongkang PLTD Apung 1, Anda bisa rehat sejenak di Taman Edukasi Tsunami, sekitar 50 meter dari tongkang itu. Di sana Anda bisa duduk-duduk di teras sambil melihat aneka tanaman bunga seperti mawar dan lainnya atau mendatangi pusat kreasi seni yang memamerkan sejumlah foto-foto tsunami.

Selanjutnya Anda bisa melihat Kuburan Massal Meuraxa yang semula merupakan halaman Puskesmas Meuraxa yang luluh lantak oleh tsunami. Lokasinya sekitar 6 Km dari pusat Kota Banda Aceh atau beberapa ratus meter dari Pantai Ulee Lheue. Di kuburan massal itu tidak ada batu nisan. Hanya berupa lapangan tanah berlapis rumput. Di lahan kuburan tersebut ada plang kecil berbentuk menara masjid bertulisan “Kuburan Dewasa”. Di depannya ada gapura dengan pintu besi bercat hijau bertuliskan kata-kata yang mengingatkan pengunjung supaya sadar bahwa kematian itu mutlak adanya. Di kuburan massal tersebut, Anda bisa memanjatkan do’a buat para korban tsunami.

Obyek baru pasca tsunami berikutnya yang harus Anda kunjungi adalah Tugu Peringatan Tsunami di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Tugu yang dibangun oleh Yayasan Harapan Bangsa Nusantara dan didanai oleh yayasan dari USA ini diresmikan pembuatannya oleh Panglima Kodam Iskandar Muda, Majend TNI Supiadin AS, Juni 2008.

Selain tugu tersebut di lapangan ini juga ada Prasasti Taman Internasional “Aceh Thanks The World”. Monumen tersebut berbentuk gelombang tsunami bercat putih sementara ratusan prasasti ucapan dari bermacam negara berbentuk pucuk perahu yang tertancap di tanah mengeliligi tengah lapangan, bertuliskan terimakasih dalam bahasa masing-masing negara.

Keberadaan Prasasti Taman Internasional dan Tugu Peringatan Tsunami membuat Lapangan Blang Padang semakin menarik untuk dikunjungi. Sebelumnya sudah ada Tugu Pesawat Seulawah RI-001 di lapangan yang menjadi kebanggaan warga Banda Aceh itu.

Dari Lapangan Blang Padang, Anda tinggal menyeberang ke Museum Tsunami Aceh, di sebelah Makam Belanda (Kherkhof) dekat simpang jam, tepatnya di Jalan Iskandar Muda.

Yang menarik dari museum yang dibangun oleh berbagai pihak seperti BRR NAD-Nias sebagai penyandang dana dan Pemkot Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum, lalu diresmikan Presiden SBY Februari 2008, arsitekturnya unik. Desainnya berbentuk Rumoh Aceh Escape Hill karya M Ridwan Kamil. Eksteriornya berbentuk kapal terdiri 4 tingkat dan hiasan motif Islam. Rencananya koleksi museum ini akan disi oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).

Menurut Direkur Museum, Dirjen Sepur, Depbudar, Intan, bentuk bangunan dan konsep Museum Tsunami Aceh ini sudah sangat bagus dan spesifik sekaligus menambah keberagaman museum yang sudah ada. “Permasalahannya tinggal siapa yang menjadi penyelenggara museum ini. Apakah pemkot atau swasta. Idealnya diisi oleh para tenaga ahli bidang permuseuman. Harus dibuat struktur organisasi yang jelas. Jika memang diserahkan ke swasta, persyaratannya harus punya pendanaan yang tetap agar tidak terbengkalai kelak,” imbuhnya.

Di samping obyek-obyek di atas. Dalam waktu dekat, Anda juga bisa menikmati Monumen Tsunami yang berada di di pinggir Jalan Banda Aceh-Meulaboh (Aceh Barat). Monumen yang di bangun di atas lahan seluas 7,8 hektar di bibir pantai yang telah rata diterjang tsunami itu juga akan dilengkapi bermacam fasilitas publik, seperti tugu tsunami, mushala, kantor, dinding relief, ruang audio visual, areal parkir, dan toko souvenir.
Melihat banyaknya obyek baru pasca tsunami guna mengenang bencana alam maha dahsyat itu, wajar kalau Banda Aceh kini menyandang gelar sebagai Tsunami Memorial City.

Tips perjalanan
Anda bisa mengunjungi semua obyek baru pascatsuami di Banda Aceh dalam satu atau dua hari saja. Sebab, lokasinya mudah dijangkau dan berdekatan. Anda bisa menyewa mobil travel, taksi, labi-labi (angkot) atau kalau ingin irit ongkos pilih saja becak motor yang sudah lama menjadi kendaraan spesial warga Banda Aceh.

Di sela-sela melihat obyek-obyek tersebut, sempatkan menikmati wisata kuliner setempat seperti Mie Aceh di Rumah Makan Mie Rajalie, bermacam makanan khas aceh seperti Ayam Tangkap, Ikan Kayu Tumis, Sambal Udang, Gule Kambing, Sate Matang, dan Ikan Bakar Rambeu di Rumah Makan Khas Aceh Rayeuk, serta Bubur Bombay, Nasi Gurih, dan Kopi Tarik Aceh di berbagai sudut kota.

Bila ingin membawa cendramata khas Aceh, seperti baju koko, tas, rencong dan lainnya pergi saja ke Toko Souvenir Rencong Aceh, Putroe Aceh, di seberang Masjid Masjid Raya Baiturrahman dan Koperasi Souvenir Mutiara Intan di dekat Masjid Baiturahim. Kalau suka dengan kaos berkata-kata humor atau bijak khas Aceh, semacam Dagadu-Yogya atau Joger-Bali, datang saja ke Toko Celoteh di dekat PLTD Apung. Selamat berwisata khas tsunami hanya di Banda Aceh.



0 comments:

Posting Komentar

 

ADVERTISEMENTS

Subscribe Archive News

Segera konfirmasi email anda agar saya bisa mengirimkan Artikel terbaru gratis ke email anda.

Arhive News Merupakan Sebuah Blog Yang dibuat oleh SIAF, tujuannya adalah ingin berbagi informasi terbaru di dunia online, jangan lupa tinggalkan kesan pesan anda di blog sederhana ini salam hangat dari saya.