Kamis, Juni 12

0
Ketika Wajahnya Menghias Malam

Kamis, Juni 12

Share this history on :

OMBAK berdebur. Menjilati bibir pantai berpasir putih. Angin laut mendendangkan syair alam yang terdengar syahdu. Camar mengepakkan sayapnya, menukik menangkap ikan-ikan kecil di atas permukaan laut. Nun, jauh di tengah samudra, tongkang-tongkang bermuatan kayu arang tampak timbul tenggelam. Dari cerobongnya mengeluarkan asap hitam yang mengepul ke udara.

Senja telah turun. Matahari yang seharian lelah menerpa bumi, hampir terbenam di balik kaki langit. Laut menelan matahari. Yang tersisa hanya sinarnya berwarna merah darah yang terpancar ke seluruh jagat raya. Di atas horison sana, sepasang burung elang terbang melayang mengikuti arah mata angin. Ke utara.
Senja itu kuresapi dalam-dalam. Ada sepenggal kerinduan tertinggal di sini. Di pantai ini. Sebelum perpisahan memupus semuanya.

“Kau akan pergi juga, Mai?” tanyaku pada gadis itu.
“Ya.”
“Secepat itukah?” tanyaku lagi.
Dia diam. Sejenak ia memandang ke arahku. Matanya tampak berkaca-kaca. Di wajahnya yang teduh itu, kulihat ada beban derita yang berat sedang ia pikul. Bibirnya bergetar. Titik air yang berkumpul di kelopak matanya yang bening itu, akhirnya jatuh. Membasahi pipinya, membentuk aliran kecil yang menganak sungai.

Dia menangis. Ada perasaan bersalah ketika aku melihatnya menangis. Secepat itu kuhapus bening airmata yang membasahi pipinya. Sementara, nun, di pondok bambu, angin membawa alunan suara gitar yang dipetik teman-teman kuliahku. Mereka menyanyikan tembang-tembang cinta yang terdengar sendu.
“Mai, maafkan. Aku tak bermaksud membuat kau berduka,” kataku merasa bersalah. “Tidak, Ran. Semuanya salahku,” akhimya gadis itu berkata. Tiba-tiba gadis itu berdiri, kemudian berjalan ke arah laut. Aku pun bangkit dari duduk, mengikutinya. Ia baru menghentikan langkah ketika ombak laut menjilati kakinya yang berdebu. Kaki kami sama-sama dijilati ombak.
Lama ia berdiri mematung. Menentang laut. Angin laut yang kurang bersahabat menampar-nampar wajahnya yang sendu. Jilbabnya yang berwarna merah kehitam- hitaman, dipermainkan angin. Tapi ia diam saja.

“Aku benci dengan keputusan kakakku!” katanya lagi.
“Tak baik kau berkata begitu, Mai,” ujarku menenangkannya.
“ Aku tak sudi dinikahkan dengan orang yang tak kucintai!”
Tangisnya kembali meledak. Kedua tangannya ia katupkan ke wajahnya. Dadanya bergemuruh. Tubuhnya yang mungil berguncang-guncang menahan sesegukan.

PAGI itu kuantar ia ke terminal. Akhirnya ia pergi juga. Ke Jakarta menemui kakaknya yang telah mengekang masa depannya. Kuliahnya yang tinggal satu semester, terpaksa ia tinggalkan. Semuanya, semata-mata menuruti kehendak kakaknya. Sebelumnya, aku sempat berbincang-bincang dengan kakak perempuannya yang menemaninya ke Jakarta. Pada kakaknya, aku minta maaf telah mengganggu perasaan gadis itu, dan mengharap Mai tidak menghentikan kuliahnya. Sebab, bagiku, Mai adalah gadis yang cerdas. Sayang masa depannya harus ia korbankan hanya karena kesalahpahaman ini.

Kakaknya di Jakarta tak merestui hubungan kami. Mai harus menikah dengan lelaki sekampungnya. Dan, itu yang tidak Mai suka. Gadis itu dan aku telah menjalin hubungan kasih setahun lalu. Orangtuanya di kampung merestui. Kecuali kakaknya di Jakarta yang memang tidak kukenal.

“Ran, aku pergi. Aku segera menyelesaikan masalah ini. Dan berjanjilah, nantikan aku di kota ini,” ucap gadis itu menjelang keberangkatannya sambil menyapu airmata. Aku hanya diam. Kami bersalaman dan ia menggenggam kuat tanganku sambil menghunjamkan pandangan tajam ke wajahku. Ada suatu pengharapan terlihat. Aku pun melepas kepergiannya. Aku tak tahu apakah harapan itu akan semu.

MALAM itu ia kirimkan kabar lewat telepon aku kaget ketika telepon berdering dan ternyata suara Mai. Ia mengabakar keadaannya sejak seminggu di Jakarta. Namun keinginan kakaknya, ia tidak memastikan kapan bisa pulang. Kecuali ia berjanji akan berkirim surat.

“Maafkan aku, Han. Kau harus bersabar menanti kepulanganku. Dalam waktu dekat, aku akan kirim surat,” katanya di seberang sana. Aku hanya diam dan mengiyakannya.
Sudah dua minggu berjalan, namun surat itu tak pernah kuterima. Hari-hari terus berjalan hingga sebulan gadis itu pergi.

“Han, Mai akan menikah. Semalam ia menelepon ke rumah. Menitipkan salam buatmu dan meminta maaf karena telah menyakiti hatimu. Ia terpaksa menuruti kehendak kakaknya yang keras kepala. Itu ia lakukan demi orang tua dan adik- adiknya di kampung yang masih mengharapkan kiriman uang dari kakaknya.”
Kabar itu bagai suara petir. Kabar yang disampaikan Erma, sahabat Mai seperti kuragukan. Namun Erma, gadis berjilbab itu menyampaikannya ketika aku baru selesai mengetik cerpen terakhir tentang Mai. Lama aku terpekur di depan layar komputer, dan tuts keybord seperti tak kuasa kutekan. Tanganku terasa kaku. Kucoba menarik nafas dalam-dalam, menenangkan diri.

Selembar kertas print out cerpenku yang belum selesai melayang. Aku menoleh dan mengamati tulisan-tulisan dengan tatapan kosong. “Pelaut tangguh adalah yang mampu menundukkan gelombang. Sebesar apapun badai yang menerpa biduknya, ia tetap tegar bersama layarnya, walaupun telah terkoyak-koyak.”
Kalimat itu adalah syair yang kudengar di antara riak gelombang laut. Di pantai ketika senja telah turun. Entah siapa yang mendendangkannya. Syair itu terdengar syahdu.

Membawa birahi alam yang membuncah di hatiku. Senja itu kuturutkan langkah kaki yang membawa tubuhku menyisiri pantai.
Membiarkan ombak yang melenguh menjilati kakiku yang berpasir. Satu demi satu memoryku memunculkan kenangan ke masa silam. Ketika hari-hari bersama gadis itu masih.
“Hai, Han Ayo, kejar aku!” teriak gadis itu berlari di antara batang nyiur yang menjulang di pantai ini.

“Mai..., kaujahat!. Tadi tanganmu sudah kutangkap!” teriakku sembari mengejar gadis itu.
“Belum!”
“Sudah!” .
“Belum!”
“Kau curang!”
Kenangan itu pun bersama seru Azan Magrib yang berkumandang dari perkampungan penduduk. Malam telah turun. Angin laut yang menampar-nampar rambutku terasa dingin bersama dinginnya hatiku. Pandanganku masih menerawang nun ke tengah samudera, sebuah wajah yang pernah menghias malam. Wajah yang telah meninggalkan duka.


0 comments:

Posting Komentar

 

ADVERTISEMENTS

Subscribe Archive News

Segera konfirmasi email anda agar saya bisa mengirimkan Artikel terbaru gratis ke email anda.

Arhive News Merupakan Sebuah Blog Yang dibuat oleh SIAF, tujuannya adalah ingin berbagi informasi terbaru di dunia online, jangan lupa tinggalkan kesan pesan anda di blog sederhana ini salam hangat dari saya.