Kamis, Juni 12

0
Putih-Hitam

Kamis, Juni 12

Share this history on :

Beberapa pemuda kelihatan sedang membetulkan ikatan kepala berwarna putih. Ada kata yang tertulis tak jelas, susah dipahami. Semua bangga memakai ikatan sebagai penanda atas beberapa gelembung yang meledak. Mereka sibuk, dan kelihatan mondar-mandir tak tentu arah. Sebagian memegang HP sibuk berbicara entah dengan siapa. Di pojok duduk melingkar beberapa pasangan. Mereka bercengkerama sambil sesekali melirik ke arahku. Tak jelas apa yang mereka bicarakan. Kupikir mereka sedang berpacaran, karena umumnya masih belia.

Hari terus berjalan bersamaan perjalan mentari makin condong ke barat. Para manusia berikat kepala itu berbondong memasuki lapangan sepakbola samping meunasah gampong pinggiran kota. Kulihat tak semuanya pemuda. Ada perempuan, ada anak-anak, bahkan ada kakek-nenek. Di sudut utara lapangan dibuat sebuah panggung sederhana. Tanpa hiasan.

Terkesan panggung itu baru saja dibuat bertiang bambu dan berlantai bambu yang dibelah-belah. Atap ditutup dengan sebuah tenda warna oranye. Lama sekali tak ada tanda-tanda akan adanya orang yang berbicara. Orang-orang pun tak mengarahkan pandangannya ke panggung. Mereka saling ngobrol dalam beberapa kelompook.

Sepertinya tak ada yang sempat makan. Termasuk aku. Di kanan kiri lapangan juga tak ada orang-orang yang berjualan seperti lazim kulihat dalam perhelatan. Orang sudah berkumpul sejak pukukl 10.00 pagi. Tak ada juga yang krasak-krusuk mencari makan. Seperti tak ada kelaparan. “Mungkin aku saja yang lapar,“ pikirku. Semua sibuk ngobrol. Sungguh aku merasa terasing karena aku sendiri saja.

Tak ada orang yang bisa diajak bicara dalam kelompok-kelompok itu. Siang bertambah gerah, dan panitia juga tak membagikan air seperti biasa setiap ada acara. Tak terlihat juga orang yang bertanda panitia. Dan sudah kali acara seperti ini kulihat. Tak ada makan-minum, tak jelas menu acaranya, kecuali orang-orang berikat kepala dengan kain warna putih yang tertulis kata tidak dapat dipahami. Kusebut saja susah. Sore terus merambat, dan alunan azan pertanda waktu azar terdengar. Namun orang-orang terlihat tak ada juga yang beranjak dari tempatnya.

Seperti biasanya, sore di lapangan itu ada latihan sepakbola, tapi hari itu tidak ada. Tak kulihat anak muda memegang bola dan memegang sepatu. Semua serba kabur. Namun Aku tersenyak saat mikrofon bersuara. Tapi kulihat di panggung orangnya tak ada. Kucari-cari, tak ada juga.
“Putih!“ Tak ada yang nyahut.
“Putih!“
“Puuttiiiiih!“ Lalu bubar.

***

Sejak itu, banyak pemakai ikatan putih yang bertuliskan kata tak jelas, tak dimengerti, susah dipahami. Pertemuan untuk mendukung para pemuda kian banyak. Entah apa yang didukung. Setiap pertemuan yang kuikuti, peserta bertambah banyak. Awalnya diselenggarakan di lapangan voli, peserta penuh. Dipindak ke lapanganm bola gampong pinggiran kota juga sesak. Sekarang dilaksanakan di lapangan kota, juga penuh.
Mataku terus meneropong ke panggung yang dibuat seadanya. Tapi tak ada orang yang mirip panitia. Seperti sebelumnya, orang-orang sudah berselimak sejak pagi. Orang bubar setelah menjawab, “puttiiiiih!“ Semua meninggalkan lapangan setelah menyahut ucapan itu.

Awalnya tak ada yang menyahut. Tapi lama-lama, semua menyebut. Cuma satu kali. Tak ada yang komando untuk mengucap kata. Semua terlihat sama saja, memakai kain putih mengikat di kepala bertuliskan satu kata yang tak jelas, sulit kumengerti, susah kupahami. Itu diikat di kepala. Aku juga pakai. Aku sudah tak ingat di mana aku memperolehnya. Entah. Mungkin kubuat sendiri. Tapi aku sudah tak ingat. Dulu aku tak pakai. Aku terasa terasing karena aku sendiri dengan kepala tanpa pengikat. Akhirnya aku pakai. Hari itu juga tak ada makan tak ada minum. Tak ada orang yang berjualan. Tak ada pula yang krasak-krusuk mencari makan. Hingga sore hari menunggu untuk menjawah, “puttiiiiih!“
Tapi yang hadir bertanmbah banyak.

Lapangan-lapangan yang ada tak muat lagi. Besok kembali lagi ada pertemuan di lapangan lain. Tak ada petunjuk. Tiba-tiba sudah ada orang berkumpul dan berita tersebar dalam sekejap. Orang-orang berdatangan dalam waktu singkat, mulai dari ujung barat sampai ujung timur.
“Puuttiiiiiih!“
Orang-orang hilang dalam sekejap. Semua berangkat seperti terkomando. Besoknya panggung tak ada lagi yang dibuat juga sudah tak ada di tempat semula.
“Putih itu bersih, tanpa pengeruh,“ kata Ibrahim, dari gampong seberang.
“Kenapa harus putih,“ tanyaku.
“Aku tak tahu!“
“Lalu kenapa kemari?“
“Nah, kamu!“
***
SUDAH dua tahun pertemuan seperti itu terus berlangsung. Belum kutemui pihak penyelenggara. Tak pernah kutahu juga apa maksudnya. Di jawab “puttiiiih!“ Memasuki hari pertama di tahun ketiga, keadaan menjadi lain. Datang suara, “hitam,!“ lalu semua menyebut, “hiittaaaaam!“ Awalnya masih ada yang satu dua menyebut “putih!“ tapi dalam sekejap berubah.

Kali ini, kain yang diikat di kepala tak lagi berwarna putih, tapi sudah berwarna hitam dengan satu kata yang tak jelas, sulit kupahami, susah kumengerti. Antara hitam dan putih sangat jauh. Kalau coklat atau abu-abu mungkin masuk akal.
Sama seperti pertemuan putih, yang hitam pun berlangsung tanpa kejelasan. Orang-orang yang hadir bertumpah ruah untuk menyahuti teriakan “hitam!“

“Hiittaaaaam!“ Sama sekali tak ada jadwal. Pertemuan berlangsung tiba-tiba. Orang-orang hilir mudik ke sana ke mari. Didengar satu orang lalu berantai menjadi ribuan orang. Tak jelas dari mana asal muasal. “Kamu tahu, siapa yang kasih tahu?“
“Dia!“
“Kamu?“
“Dari dia!“
“Kalau kamu?“
“Kudengar dari dia!“
Ribuan berantai tak ada pucuk. Semua hadir tumplek ke tujuan pertemuan.
“Hiittaaaam!“
Tak ada artis yang mengalirkan goyangan. Tak ada orator yang menebar semangat. Tak ada pengantar yang menebar senyum. Panggung yang dibuat entah siapa dalam rata-rata pertemuan di sudut lapangan selalu tidak pernah terisi.


Tiba-tiba ada suara yang entah berpunca dimana, memekik, “hitam!“ Lalu warga yang hadir menyahutinya dengan memekik pula, “hiittaaaaam!“ Warga berbondong-bondong meninggalkan lapangan yang ramai. Sebuah perjalanan antara putih dan hitam. Saat aku masih mencari tahu sebuah kata yang tertulis di kain pengikat di kepala berwarna putih yang tak jelas, sulit kumengerti, susah kupahami, kata lain muncul.

Dalam sekejap sebuah perjalanan putih menjadi hitam. Saat ini aku dihadapkan lagi untuk mencari tahu sebuah kata yang tak jelas, sulit kumengerti susah kupahami yang bertempel dikain warna hitam. Tak ada palang yang menahan. Seperti penyangga di perbukitan. Tapi kosong. Pergeseran sebuah garis lurus yang terikuti bagai air bah tak terbendung. Sama enjoy seperti air mengikuti alur. Kuketuk-ketuk sebuah periuk. Piringan kosong berjejer membentuk ribuan langkah yang siap berjalan. Aku seperti keranjang belanga yang berjerami menertawakan tuan berpeluh keringat.

Dari titik ke titik, ku ukur, pergeseran ini besar sekali melewati batas normal dalam ilmu matematika. Aku tak mungkin salah, walau beberapa orang merasa asing saat aku intens bertanya. Aku benar-benar seorang diri dalam lautan manusia yang selalu gaduh. Ikan-ikan tidak lagi menjadi mangsa para paus dan tikus. Aku masih belum tahu kata yang tak jelas itu, sulit kumengerti susah kupahami; saat semua sudah hambur seperti perburuan yang jatuh dalam lubang kematian.
Berkeping!


0 comments:

Posting Komentar

 

ADVERTISEMENTS

Subscribe Archive News

Segera konfirmasi email anda agar saya bisa mengirimkan Artikel terbaru gratis ke email anda.

Arhive News Merupakan Sebuah Blog Yang dibuat oleh SIAF, tujuannya adalah ingin berbagi informasi terbaru di dunia online, jangan lupa tinggalkan kesan pesan anda di blog sederhana ini salam hangat dari saya.