Kamis, Juni 12

5
Puisi Diatas Piring

Kamis, Juni 12

Share this history on :

Hujan lebat. Petir menyambar yang kilatannya menembus celah dinding rumah yang memang sudah berlobang. Dinding-dinding papan durian yang makin lapuk oleh bekas terjangan peluru dan guncangan gempa tempo hari. Jamilah harus cekatan menalang air yang jatuh dari atap yang bocor dengan baskom. Satu, dua, tiga baskom hingga akhirnya ibu muda itu pasrah.

Ia membiarkan ruangan tempat berkumpul dengan tiga anaknya itu basah. Kini, mereka betul-betul merapat satu sama lain karena di semua sudut air sudah tergenang. Jamilah dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, sejak ditinggal mati suaminya, disusul kedua mertuanya juga meninggal, maka dia dan ketiga anaknya lah yang menempati rumah itu sampai sekarang. Jamilah sendiri berasal dari kampong lain, namun wasiat sang mertua, bahwa sebagai anak tunggal, suaminya diminta melanjutkan usaha penggilingan padi sang mertua. Sayangnya usaha yang sangat dibutuhkan oleh orang kampung itu akhirnya harus gulungtikar.

Masa darurat serdadu mengobrak-abrik kilang padi mereka tersebab ada dugaan kalau di areal kilang disimpang senjata pemberontak. Tak cukup itu, mertuanya dituduh menjadi pemasok logistik sparatis. Padahal mertuanya sendiri yang akrab disapa Tgk Lah itu kerap pula diancam sparatis karena dianggap terlalu independent. Bayangkan suatu hari Tgk Lah dibal-bal di depan umum padahal baru saja memimpin salah magrib di meunasah. Soalnya sepele, Tgk Lah menegaskan sikapnya tidak mau berurusan dengan politik dan hanya focus usaha kilang padi. Itu pula sebabnya, anak tunggalnya Bustaman disuruh merantau ke daerah lain yang lebih aman sambil menuntut ilmu ke pesantren ayah Jamilah.

Kecerdasan Bustaman ketika menjadi santri membuat bangga pimpinan pondok pesantren yang dikelola ayah Jamilah,. Sebagai santriwati, Jamilah yang jauh lebih muda dan cantik, ternyata memendam cinta. Keduanya menjalin cinta yang kemudian mendapat restu orangtua Jamilah. Sekian belastahun berumah tangga, Bustaman dan Jamilah dikarunia tiga anak. Sampailah pada tragedy paling memilukan, Tgk Bustaman ditemukan warga dalam keadaan menggenaskan dan tak bernyawa di pinggir jalan kampong.

Jamilah tak bisa melupakan peristiwa itu. Ia baru saja meninabobokkan ketiga anaknya. Sebuah ketukan pintu mengagetkannya. Ia merasa suaminya yang bertugas melakukan dakwah ke daerah lain, belum waktunya pulang. Anggota keluarganya yang di pesantren juga tak mungkin karena mereka masih ada acara. Jamilah hanya bias membatin dengan degup jantung semakin keras bersamaan ketukan pintu yang semakin kuat. Ia berupaya tenang sambil melepas tali ayun sibungsu yang mulai lelap. Karena sejak magrib sibungsu terus menangis. Pintu perlahan dibuka dan hamper saja Jamilah pingsan ketika di depannya berdiri tiga orang tegap dengan senjata pembunuh.

Mana suami kau.

Cepat suruh keluar.

Cepaaaat.

Jamilah belum sempat bicara, ketika serdadu dengan suara menggelegar yang tak bias berbahasa Aceh itu terus mencecar pertanyaan. Dengan bibir bergetar, akhirnya Jamilah mengaku kalau suaminya saat ini sedang berdakwah ke daerah lain. Ketika lelaki itu saling menatap seperti mengisyaratkan sesuatu. Ketiganya serentak menangkap Jamilah. Seorang memegang tangan kanan, satu lagi tangan kiri dan satu lagi sigap menangkap kedua kaki Jamilah. Perempuan yang sangat ketakutan itu dibugap dan langsung digotong ke atas sebuah ranjang di rumahnya. Perempuan itu baru tersadar ketika sejumlah pemuda kampung membangunkannya.

Pemuda itu mendatangi rumah Jamilah untuk memberitahu kalau suaminya mereka temukan tidak bernyawa di pinggir jalan kampung. Seperti kiamat mendengar kabar itu, Jamilah meraung sambil mendekap ketiga anaknya. Sejak itu hari-hari Jamilah bersama tiga buah hatinya dijalani tanpa kepastian. Sampailah malam itu jam telah menunjukkan hamper pukul 12 malam, ketika Jamilah sedang membuang air di baskom dari tampungan hujan akibat atap rumahnya yang bocor. Jamilah tersentak ketika mendengar tgeriakan orang-orang.

Air dari waduk gunung turun. Cepat keluar. Lari .

Jamilah menyambar ketiga anaknya ke luar rumah dan berlari.Jamilah tak terlihat menangis ketika menyaksikan rumahnya diterjang air dan hanyut. Jamilah tak bisa lagi menangis karena airmata baginya sudah kering setelah belasan tahun menangis lahir-batin. Bahkan ketika dikabari oleh Keuchik Rahman, bahwa ia termasuk salah seorang yang belum bisa mendapatkan bantuan. Bagi Jamilah tak penting alasan kenapa tak mendapatkannya. Itu sering dialami sejak masa konflik hingga bencana. Ketika itu kedua pihak yang bertikai sebenarnya sama saja. Mereka tak pernah melindungi rakyat. Apakah mereka nasionalis atau sparatis, agamis atau ateis adalah sama-sama bengis dan rakyat jelatanya menjadi tumbalnya.

Mana damai, mana keadilan, mana martabat, mana kasihsayang, guman Jamilah seperti berpuisi sambil ia membolak-balik sendok bubur dalam piring di depan sibungsu yang sejak tadi merengek kelaparan ***


5 comments:

Anonim mengatakan...

upz... bilangin ama ibu jamilah..klo bawa anak2... jangan sambil lariii.... ntr jatuh lho.... hiks..hiks...

*kaburrrr*

Anonim mengatakan...

:)):)):))

Anonim mengatakan...

cerpennya keren... detail tapi padat n jelas :) penggambaran suasananya juga dapet banget... salut :)

Anonim mengatakan...

ehm...ehm... ajiibbb.... dalem bahasanya mas.... pucind daku dengan bahasa dikau... hiks...hiks...

Anonim mengatakan...

:D

Puisi di atas piring minta makannnnnnn, lapar nih :-*

Posting Komentar

 

ADVERTISEMENTS

Subscribe Archive News

Segera konfirmasi email anda agar saya bisa mengirimkan Artikel terbaru gratis ke email anda.

Arhive News Merupakan Sebuah Blog Yang dibuat oleh SIAF, tujuannya adalah ingin berbagi informasi terbaru di dunia online, jangan lupa tinggalkan kesan pesan anda di blog sederhana ini salam hangat dari saya.